
Pada zaman Kerajaan Demak ada seorang pertapa sakti bernama
Ki Kesdik Wacana. Dia tinggal menyendiri di salah satu gua yang termasuk dalam
jajaran Pegunungan Seribu. Pegunungan ini dikelilingi hutan yang penuh
dengan pepohonan lebat dan alam yang indah. Tidak heran jika penguasa Demak
pada waktu itu menjadikan sebagai hutan wisata raja dan tempat perburuan
binatang.
Pada waktu-waktu
tertentu, datanglah rombongan raja dengan pengiring dan senopatinya. Mereka
berburu binatang, terutama Rusa. Sebagian hasil dari perburuan itu ada yang
dihabiskan di tempat dan sebagian lagi biasanya dibawa kembali ke istana. Bekas
tempat pesta pora itu pada akhirnya menjadi sebuah desa yang sekarang dinamakan
Desa Senang, yang berarti tempat untuk bersenang-senang. Sampai sekarang desa
itu masih ada.
Pada suatu ketika
Raja Demak mengirimkan seorang utusan bernama Raden Panji untuk menemui pertapa
Ki Kesdik Wacana. Melalui utusannya, Raja meminta kepada Ki Kesdik Wacana untuk
membawa beberapa ekor rusa untuk dijadikan sebagai binatang peliharaan di
Istananya. Ki Kesdik Wacana menyanggupi permintaan Raja.
Dengan kesaktiannya
Ki Kesdik Wacana memasukkan rusa-rusa itu dalam bumbung, rongga pada ruas pohon
bambu petung dan kemudian disumbat. Bumbung tersebut kemudian diserahkan kepada
Raden Panji disertai dengan pesan khusus.
"Raden Panji,
bumbung ini berisi rusa-rusa yang dikehendaki oleh sang Prabu. Sengaja aku
masukkan ke dalam bumbung ini supaya Raden Panji mudah membawanya. Lagi pula
perjalanan dari sini ke Keraton cukup jauh. Namu ingat pesanku, jangan
coba-coba sekalipun membuka isi dari bumbung tersebut sampai bumbung tersebut
telah ada di hadapan Raja."
"Terima kasih
bapak pertapa, saya akan selalu ingat pesan itu" kata Raden Panji dengan
penuh hormat.
Dalam perjalanan
pulang kembali ke Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi oleh berbagai macam
pertanyaan yang tidak bisa terjawab oleh Raden Panji sendiri. Menurut dia
tidaklah masuk akal rusa-rusa yang diminta oleh sang Prabu dimasukkan ke
bumbung ini. Ini sangat tidak logis.
Meskipun begitu,
Raden Panji tetap ingat pesan Ki Kesdik Wacana untuk tidak membuka bumbung itu
sampai di hadapan Raja. Raden Panji pun akhirnya membatalkan keinginannya untuk
membuka bumbung tersebut.
Dalam perjalanan
pulang, karena lelah Raden Panji singgah sebentar di sebuah hutan jati yang
lebat. Saat melepas lelah, pandangan Raden Panji terus memandang bumbung tersebut
dengan perasaan heran. Karena terus memandang bumbung tersebut, akhirnya Raden
Panji membuka bumbung tersebut untuk mengetahui isinya.
Namun ketika sumbat
bumbung dibuka, Raden Panji kaget bukan kepalang melihat kejadian aneh. Dalam
keadaaan yang masih terbengong, tiba-tiba dari bumbung tersebut keluar hewan
kecil yang makin lama makin membesar. Ternyata hewan-hewan itu adalah rusa-rusa
yang berjumlah 16 ekor atau 8 pasang. Dan kesemuanya dengan cepat segera masuk
ke hutan kembali.
Raden Panji yang
segera sadar dari kekagetannya itu, langsung segera berlari cepat ke
hutan untuk mengejar rusa-rusa itu sampai kopiahnya jatuh ke tanah. Namun
beliau tidak menghiraukan kejadian tersebut. Walau usahanya untuk mengejar
rusa-rusa itu sia-sia.
Bukan main sedih
dan menyesal hati Raden Panji akibat kecerobohannya itu. Raden Panji hanya bisa
jatuh tertunduk malu dan lesu. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mau
balik ke Demak takut terken murka Raja. Mau kembali tempat pertapaan Ki Kesdik
Wacana takut terkena makian.
Untunglah Ki Kesdik
Wacana yang sakti dapat segera mengetahui peristiwa itu. Oleh karena itu Ki
Kesdik segera menyusulnya. Dalam perjalanan menyusul Raden Panji, Ki Kesdik
sempat menemukan kopiah Raden Panji yang terjatuh. Pertapa sakti itu pun
berkata, wahai bumi dan langit saksikanlah bahwa tempat ini sejak saat ini aku
beri nama Wana Kethu. Jadilah tempat itu sampai sekarang bernama Wana Kethu.
'Wana' berarti hutan dan 'Kethu' artinya kopiah.
Tidak berapa lama
Ki Kesdik Wacana segera menemukan tempat Raden Panji. Melihat kehadiran Ki
Kesdik Wacana, Raden Panji pun sangat kaget.
"Mohon ampun
bapak, hamba telah berbuat lancang membuka sumbat bumbung itu dan mengakibatkan
hewan-hewan yang ada di dalam bumbung itu keluar semua. Sekarang hamba pasrah
menerima hukuman dari bapak pertapa" kata Raden Panji bersedih.
Mendengar pengakuan
Raden Panji, sang pertapa merasa kasihan tetapi yang bersalah tetap harus
menerima hukuman.
"Raden Panji,
ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu adalah utusan raja yang telah diberi amanat.
Sayang sekali kamu tidak dapat melaksanakan amanat itu. Oleh karena itu kamu
tetap mendapat hukuman. Mulai sekarang, janganlah kamu berwujud manusia, tetapi
jadilah kamu seekor Rusa Wulung penunggu hutan jati ini" kata Bapak
Pertapa
Begitu selesai
ucapan bapak pertapa itu, seketiak tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita dan di
langit terdengar suara petir menyambar-nyambar. Semua seakan menjadi saksi atas
segala ucapan bapak pertapa.
Memang benar
keadaanya. Secara mendadak Raden Panji yang asalnya manusia berubah menjadi
rusa jantan yang sangat gagah dengan bulu wulungnya. Raden Panji yang sudah
berubah menjadi rusa itu menangis dan bersimpuh di hadapan pertapa sakti
tersebut.
"Hukuman ini
terlampau berat bagi Hamba, Bapak. Mohon bapak sudi mencabutnya," ratap
rusa wulung penjelmaan Raden Panji.
Namun penyeselana
tinggal penyesalan, Raden Panji harus mengalami kehidupan baru sebagai pemimpin
pasangan rusa yang dahulu dilepasnya di Wana Kethu.
Sesudah peristiwa
di Wana Kethu itu, Ki Kesdik Wacana naik ke atas bukit kecil tak jauh dari
situ. Sesampai di puncak bukit itu, ia berhenti sesaat untuk mengagumi
keindahahan alam di bawahnya.
"Bukit ini
begitu indah. Besok kalau ada keadaan zama sudah ramai, bukit ini aku namai
dengan Gunung Giri. sedangkan sungai yang mengalir dibawahnya aku namakan
Sungai Wahyu. Sekarang nama sungai ini adalah Bengawan Solo." kata Ki
Kesdik Wacana
Pada suatu ketika
dalam kesempatan yang lain, Sunan Giri dalam pengembaraanya sampai di tempat
yang dahulu dikunjungi Ki Kesdik Wacana. Sama dengan Ki Kesdik Wacana, Sunan
Giri juga mengagumi keindahan alam hutan yang sangat luas dengan alamnya yang
berbukit-bukit. Sunan Giri pun berkata "Besok kalau ada keramaian zaman,
tempat ini aku namai Wonogiri".
Wono atau Wana berarti
'hutan', sedangkan Giri berarti
'Gunung'. Demikianlah tempat yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu
sampai sekarang bernama Wonogiri yang terletak di Propinsi Jawa Tengah.